Onani Wacana Pemberdayaan dan Kesadaran Kritis Masyarakat
Adaharapan.id, - Oleh : Mega Saputra*
Pemberdayaan adalah manifesto dari kerja-kerja
intelektual dan sosial yang panjang dan berkelanjutan. Walaupun dapat dievaluasi
secara berkala, tapi kesuksesan pemberdayaan tidak dapat diukur keberhasilannya
dalam satu dua tahun pekerjaan. Masyarakat dengan berbagai kompleksitasnya
memiliki karakteristik tersendiri. Semua terhubung pada bagaimana nilai, norma, budaya, geografis, bahkan kepercayaan yang ada pada suatu komunitas masyarakat.
Secara kultural masyarakat
terikat pada pijakan hidup yang lahir dari kearifan lokal. Sedangkan secara
struktural masyarakat terikat pada sistem yang dibangun oleh penguasa dalam hal
ini pemerintah, baik tingkat nasional maupun lokal. Untuk mengendorse masyarakat beranjak dari zona
nyaman dan bergegas menuju fase pemberdayaan sosial, maka dibutuhan kesadaran
kritis yang bersumber dari masyarakat itu sendiri.
Kesadaran itu haruslah geniun terlahir dari kegelisahan
masyarakat dengan harapan bahwa mereka harus dapat mengubah nasib hidupnya
sendiri. Modal kesadaran kritis inilah yang kedepan menjadi pondasi bagaimana
masyarakat dapat berdaya bukan lagi diperdaya oleh onani wacana program
pemberdaya.
Mendorong pemberdayaan dimasyarakat membutuhkan gerak
kolektif dari berbagai stake holder.
Didalamnya terdapat pemerintah, aktivis, akademisi, pekerja sosial, organisasi masyarakat, dan
terutama komunitas masyarakat itu sendiri. Keseluruhan elemen harus dapat
bersatu padu, beriringan dengan berusaha menemukan konsensus atau kesepakatan
bersama bagaimana model dan skema pemberdayaan akan dilaksanakan.
Karena jika derap langkah pemberdayaan hanyalah dari
pemerintah, maka bisa saja pemberdayaan tersebut hanyalah program daripada
penyerapan anggaran semata. Sehingga yang tercapai hanyalah soal kalkulasi rupiah
dan ceremonial belaka. Sekalipun
pemerintah memiliki visi misi program yang baik, jika tidak didukung oleh kesadaran
kritis masyarakat itu sendiri bisa dipastikan program tersebut hanyalah lagi-lagi sekadar“onani wacana”.
Wacana pemberdayaan yang kerap dipertontonkan oleh
pemerintah kerap tidak mencapai substansi tujuan dan sekali lagi hanya sampai
pada kepuasan penyerapan anggaran. Karena dibutuhkan instrument yang bersifat
kualitatif dan kuantitatif yang menjadi alat ukur bagaimana program ini
dinyatakan berhasil. Sedangkan kebanyakan program hari ini masih berkutat pada
capaian-capaian yang diklaim secara kuantitatif, sekalipun ada capaian
kualitatif seperti halnya klaim tentang lahirnya kesadaran partisipasi masyarakat
pada pendidikan dan kesehatan, majunya ekonomi kerakyatan, dan capaian angin
surga lainnya, tetap saja suatu keberhasilan pemberdayaan seyogyanya harus
bertahan dalam jangka waktu panjang bahkan tak terlekang oleh waktu. Hingga
akhirnya masyarakat benar-benar mandiri dan tidak lagi tergantung pada stimulan atau bantuan program pemberdayaan baik dari pemerintah maupun dari pihak lain.
Untuk mencapai gerakan kolektif “collective movement” dalam pemberdayaan dan menghidupkan kesadaran
kritis maka penting bagi seluruh pihak yang berkepentingan mengerti tentang apa
dan bagaimana itu kesadaran kritis.
Kesadaran kritis adalah modalitas sosial yang esensial
ada pada diri manusia yang memandang fenomena kehidupan atau seluruh apa yang
yang terjadi pada dirinya adalah bentuk daripada hukum kausalitas
“sebab-akibat” yang dapat diurai bahkan dicarikan solusi terbaiknya. Berbeda
dengan kesadaran magis yang dalam pandangan Paulo Freire adalah kesadaran paling
rendah yang dimiliki manusia. Dimana manusia melihat kehidupan adalah sekadar
suratan takdir yang given dan tak
mampu diubah. Seperi kalimat, “yaudahlah,
emang rejekinya segini”, yoweslah udah dapat sembako bantuan begini aja atau
uang bantuan segini juga udah bersyukur”, dan kalimat kepasrahan lainnya
yang terlalu terburu-buru padahal bisa jadi apa yang harusnyna didapatkan oleh
masyarakat dalam program pemberdayan atau bantuan sosial seyogyanya lebih baik dari apa yang selama
ini diterima dengan lapang dada. Lalu
pentingkah kesadaran magis ? tentu penting jika diporsikan dengan tepat dan jika
mendorong lahirnya kegelisahan yang revolusioner atau dalam pandangan Amin rais disebut denga Tauhid Sosial.
Membangun kesadaran kritis masyarakat membutuhkan
proses panjang dan berkelanjutan. Tidak semata-mata seperti mengikuti motivasi
ujian nasional yang disesaki haru biru beberapa hari sebelum ujian. Kesadaran
kritis hanya dapat terinternalisasi dan mengkristal dalam diri warga negara
jika ia dapat memaksimalkan potensi akal dan ruhaninnya secara baik.
Potensi
akal akan memeberikan insight “cara
pandang” bagaimana dia melihat realitas sosial. Menimbang secara logis mana
yang baik dan buruk bagi kehidupannya. Potensi ruhani adalah substansi dari
pada panduan dan sumber kepercayaan yang progresif. Bukan sekadar kepercayaan
yang justru meninabobokan masyarakat yang tertindas sebagaimana halnya di abad
kegelapan “dark ages” eropa. Dimana
gereja menjadi sponsor utama stagnasi berfikir dan bertindak masyarakatnya kala
itu lantaran hegemoni dan memegang kendali disegali bidang kehidupan sehingga
mennyebabkan mundurnya ilmu pengetahuan dan hilangnya kesadaran kritis. Potensi akal dan ruhani harus dibangun secara
beriringan agar juga tidak terjebak pada sekulerisasi dan mengakibatkan masyarakat
akhirnya berpotensi terpecah belah.
Potensi logika dan ruhani tersebut dapat diinjeksikan
kepada masyarakat dengan kehadiran apa yang disebut Antonio Gramsci dengan
istilah intelektual organik.
Komunitas intelektual yang bukan hanya memikirkan nasib hidupnya sendiri,
intelektual yang dalam pandangan Gramsci bukan hanya berada di menara gading
dan sibuk dengan capaian-capaian akademik atau keberhasilan karirnya sendiri.
Intelektual organik ini dapat tertanam dalam diri para pekerja sosial, tokoh
agama, PNS/ASN, dan seluruh pihak yang berkepentingan dalam mewujudkan
pemberdayaan sosial yang otentik.
Kehadiran intelektual organik adalah upaya daripada
memberikan edukasi sekaligus memprovokasi (menyadarkan secara kritis) agar
warga negara mengerti mana hak dan kewajibannya sebagai masyarakat. Edukasi
tersebut tentu bisa dilakukan dengan berbagai formulasi yang dapat kita ulas ditulisan
lain berikutnya. Tapi substansinya adalah bagaimana aktor intelektual organik
dapat menjadi trend setter atau lebih
mudahnya menjadi sumber inspirasi sekaligus penyambung aspirasi yang dengan
kehadirannya masyarakat akan tercerahkan.
Sehingga pada akhirnya, masyarakat
akan terdidik bukan sekadar berkomitmen pada program pemberdayaan tapi juga
konsisten dan berani melawan penindasan.
“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala, dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. (W.S Rendra)
0 Komentar