Onani Wacana Pemberdayaan dan Kesadaran Kritis Masyarakat

0 Komentar


Adaharapan.id, - Oleh : Mega Saputra*

Pemberdayaan adalah manifesto dari kerja-kerja intelektual dan sosial yang panjang dan berkelanjutan. Walaupun dapat dievaluasi secara berkala, tapi kesuksesan pemberdayaan tidak dapat diukur keberhasilannya dalam satu dua tahun pekerjaan. Masyarakat dengan berbagai kompleksitasnya memiliki karakteristik tersendiri. Semua terhubung pada bagaimana nilai, norma, budaya, geografis, bahkan kepercayaan yang ada pada suatu komunitas masyarakat.
 
Secara kultural masyarakat terikat pada pijakan hidup yang lahir dari kearifan lokal. Sedangkan secara struktural masyarakat terikat pada sistem yang dibangun oleh penguasa dalam hal ini pemerintah, baik tingkat nasional maupun lokal. Untuk mengendorse masyarakat beranjak dari zona nyaman dan bergegas menuju fase pemberdayaan sosial, maka dibutuhan kesadaran kritis yang bersumber dari masyarakat itu sendiri. 

Kesadaran itu haruslah geniun terlahir dari kegelisahan masyarakat dengan harapan bahwa mereka harus dapat mengubah nasib hidupnya sendiri. Modal kesadaran kritis inilah yang kedepan menjadi pondasi bagaimana masyarakat dapat berdaya bukan lagi diperdaya oleh onani wacana program pemberdaya.
 
Mendorong pemberdayaan dimasyarakat membutuhkan gerak kolektif dari berbagai stake holder. Didalamnya terdapat pemerintah, aktivis, akademisi, pekerja sosial, organisasi masyarakat, dan terutama komunitas masyarakat itu sendiri. Keseluruhan elemen harus dapat bersatu padu, beriringan dengan berusaha menemukan konsensus atau kesepakatan bersama bagaimana model dan skema pemberdayaan akan dilaksanakan.

Karena jika derap langkah pemberdayaan hanyalah dari pemerintah, maka bisa saja pemberdayaan tersebut hanyalah program daripada penyerapan anggaran semata. Sehingga yang tercapai hanyalah soal kalkulasi rupiah dan ceremonial belaka. Sekalipun pemerintah memiliki visi misi program yang baik, jika tidak didukung oleh kesadaran kritis masyarakat itu sendiri bisa dipastikan program tersebut hanyalah lagi-lagi sekadar“onani wacana”.

Wacana pemberdayaan yang kerap dipertontonkan oleh pemerintah kerap tidak mencapai substansi tujuan dan sekali lagi hanya sampai pada kepuasan penyerapan anggaran. Karena dibutuhkan instrument yang bersifat kualitatif dan kuantitatif yang menjadi alat ukur bagaimana program ini dinyatakan berhasil. Sedangkan kebanyakan program hari ini masih berkutat pada capaian-capaian yang diklaim secara kuantitatif, sekalipun ada capaian kualitatif seperti halnya klaim tentang lahirnya kesadaran partisipasi masyarakat pada pendidikan dan kesehatan, majunya ekonomi kerakyatan, dan capaian angin surga lainnya, tetap saja suatu keberhasilan pemberdayaan seyogyanya harus bertahan dalam jangka waktu panjang bahkan tak terlekang oleh waktu. Hingga akhirnya masyarakat benar-benar mandiri dan tidak lagi tergantung pada stimulan atau bantuan program pemberdayaan baik dari pemerintah maupun dari pihak lain.

Untuk mencapai gerakan kolektif “collective movement” dalam pemberdayaan dan menghidupkan kesadaran kritis maka penting bagi seluruh pihak yang berkepentingan mengerti tentang apa dan bagaimana itu kesadaran kritis.

Kesadaran kritis adalah modalitas sosial yang esensial ada pada diri manusia yang memandang fenomena kehidupan atau seluruh apa yang yang terjadi pada dirinya adalah bentuk daripada hukum kausalitas “sebab-akibat” yang dapat diurai bahkan dicarikan solusi terbaiknya. Berbeda dengan kesadaran magis yang dalam pandangan Paulo Freire adalah kesadaran paling rendah yang dimiliki manusia. Dimana manusia melihat kehidupan adalah sekadar suratan takdir yang given dan tak mampu diubah. Seperi kalimat, “yaudahlah, emang rejekinya segini”, yoweslah udah dapat sembako bantuan begini aja atau uang bantuan segini juga udah bersyukur”, dan kalimat kepasrahan lainnya yang terlalu terburu-buru padahal bisa jadi apa yang harusnyna didapatkan oleh masyarakat dalam program pemberdayan atau bantuan sosial seyogyanya lebih baik dari apa yang selama ini diterima dengan lapang dada.  Lalu pentingkah kesadaran magis ? tentu penting jika diporsikan dengan tepat dan jika mendorong lahirnya kegelisahan yang revolusioner atau dalam pandangan Amin rais disebut denga Tauhid Sosial.

Membangun kesadaran kritis masyarakat membutuhkan proses panjang dan berkelanjutan. Tidak semata-mata seperti mengikuti motivasi ujian nasional yang disesaki haru biru beberapa hari sebelum ujian. Kesadaran kritis hanya dapat terinternalisasi dan mengkristal dalam diri warga negara jika ia dapat memaksimalkan potensi akal dan ruhaninnya secara baik. 

Potensi akal akan memeberikan insight “cara pandang” bagaimana dia melihat realitas sosial. Menimbang secara logis mana yang baik dan buruk bagi kehidupannya. Potensi ruhani adalah substansi dari pada panduan dan sumber kepercayaan yang progresif. Bukan sekadar kepercayaan yang justru meninabobokan masyarakat yang tertindas sebagaimana halnya di abad kegelapan “dark ages” eropa. Dimana gereja menjadi sponsor utama stagnasi berfikir dan bertindak masyarakatnya kala itu lantaran hegemoni dan memegang kendali disegali bidang kehidupan sehingga mennyebabkan mundurnya ilmu pengetahuan dan hilangnya kesadaran kritis. Potensi akal dan ruhani harus dibangun secara beriringan agar juga tidak terjebak pada sekulerisasi dan mengakibatkan masyarakat akhirnya berpotensi terpecah belah.

Potensi logika dan ruhani tersebut dapat diinjeksikan kepada masyarakat dengan kehadiran apa yang disebut Antonio Gramsci dengan istilah intelektual organik. Komunitas intelektual yang bukan hanya memikirkan nasib hidupnya sendiri, intelektual yang dalam pandangan Gramsci bukan hanya berada di menara gading dan sibuk dengan capaian-capaian akademik atau keberhasilan karirnya sendiri. Intelektual organik ini dapat tertanam dalam diri para pekerja sosial, tokoh agama, PNS/ASN, dan seluruh pihak yang berkepentingan dalam mewujudkan pemberdayaan sosial yang otentik.

Kehadiran intelektual organik adalah upaya daripada memberikan edukasi sekaligus memprovokasi (menyadarkan secara kritis) agar warga negara mengerti mana hak dan kewajibannya sebagai masyarakat. Edukasi tersebut tentu bisa dilakukan dengan berbagai formulasi yang dapat kita ulas ditulisan lain berikutnya. Tapi substansinya adalah bagaimana aktor intelektual organik dapat menjadi trend setter atau lebih mudahnya menjadi sumber inspirasi sekaligus penyambung aspirasi yang dengan kehadirannya masyarakat akan tercerahkan.
 
Sehingga pada akhirnya, masyarakat akan terdidik bukan sekadar berkomitmen pada program pemberdayaan tapi juga konsisten dan berani melawan penindasan.

“Kesadaran adalah matahari, kesabaran adalah bumi, keberanian menjadi cakrawala,  dan perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata”. (W.S Rendra)

 * Penulis merupakan pendamping PKH Kemensos RI
 
 
 
 
 

 

 

 

 

 

0 Komentar