Tauhid Sosial Sebagai Basis Pemberdayaan
Adaharapan.id, - Oleh : Mega Saputra*
Semua manusia telah sepakat, bahwa ada kekuatan diluar
kuasa manusia yang mengatur berbagai kejadian dan urusan dimuka bumi. Sekalipun
ia mengklaim dirinya atheis, saat ia percaya adanya kematian itu berarti ia
percaya ada sekenario sang Maha Agung dan Maha Kuat yang menjadi sutradara dari
jalannya kehidupan. Alasan ini menjadikan seluruh umat manusia di berbagai
dunia percaya bahwa mereka harus juga memberikan pengabdian kepada Dzat semesta
alam tersebut. Itulah mengapa manusia pada dasarnya tak pernah dapat lepas dari
kepercayaan mistis yang akhirnya melekat istilah zoon religion pada diri manusia. Kepasrahan diri kepada kekuatan supra empiris yang mengendalikan secara
total kehidupan manusia yang dikemudian hari tercermin dalam doa dan harap
setiap hamba pada Tuhannya. Kesadaran akan adanya kekuatan besar tersebut
seharusnya dapat menjadi basis dan esensi daripada pemberdayaan di tengah
masyarakat. Melalui kesadaran spiritual yang juga kaya akan pesan sosial,
seyogyanya gerak pemberdayaan dapat terlaksana dengan holistik. Kesadaran ketuhanan
yang progresif dan mendorong perubahan dan kemajuan pada hidup masyarakat
itulah yang menjadi manifestasi daripada tauhid sosial.
Istilah Tauhid sosial mulai santer diperbincangkan saat
Tokoh reformasi yang juga mantan ketua umum PP Muhammadiyah Amien rais saat
Muktamar Muhammadiyah di Banda Aceh tahun 1995. Amien memberikan prespektif
Tauhid yang lebih holistik dengan mengaitkannya pada berbagai isu-isu
kemanusiaan dan isu sosial. Bukan sekadar menjadi kepercayaan, tapi bagimana
Tauhid dapat teraktualisasi di tengah masyarakat dan memberikan spirit
perubahan di masyarakat itu sendiri. Bagaimana Tauhid sosial dapat menjadi instrumen
sakral daripada menciptakan masyarakat berkemajuan.
Dalam prespektif islam, tauhid sebagai pijakan
fundamental kepercayaan manusia menjadi dasar daripada doktrin “laa ilaa ha illallah”. Keyakian tiada
Tuhan selain Allah. Keyakinan tentang tiada Tuhan selain Allah itu artinya meletakkan
kedaulatan Tuhan diatas segalanya. Tuhan yang menjadi Maha pemelihara, Maha
pemberi rezeki, Maha pencipta, Maha pengelola, Maha segalanya yang paling tidak
dapat kita pelajari maknanya di 99 asmaul husna. Kepercayaan akan Tuhan secara
luas akhirnya melahirkan pedoman bagaimana manusia menjalani relasi sosial
ditengah kehidupan berwarga negara. Berbagai pesan telogis yang terkandung
dalam kitab suci bahkan menginspirasi bagaimana manusia harus menjadi khalifah fil ard (duta Tuhan di muka
bumi) yang bukan hanya menikmati takdir, tapi juga menjadi aktor daripada
memajukan peradaban sebagaimana kanjeng Nabi mengajarkan kita untuk berkontribusi
pada tercapainya islam rahmatan lil
alamin (rahmat bagi seluruh alam semesta).
Menginternalisasi tauhid sosial pada diri manusia
sekaligus menjadikan Tauhid sosial sebagai dasar pemberdayaan tentu membutuhkan
langkah serius dan berkelanjutan. Program pemberdayaan dengan berbagai skemanya
haruslah memiliki core values (nilai
inti) daripada kesadaran kebertuhanan itu senditi. Artinya tentang kepercayaan
penggerak dan masyarakat dalam program pemberdayaan meyakini bahwa Tuhan
menciptakan manusia untuk tidak menjadi miskin, terpuruk dan kesusahan. Optimisme
bahwa nasib dapat diubah dan kesejahteraan itu dapat diraih haruslah bersumber
juga daripada
inspirasi yang ada pada kitab suci agama.
Bukankah
Allah berfirman “Sesungguhnya Allah tidak
akan mengubah keadaan suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (Ar Ra’d ayat 11). Bukankah dalam hadist juga disebutkan
bahwa "Tangan yang di atas lebih
baik daripada tangan yang di bawah ". Artinya agama mengajarkan
kita bahwa idealnya manusia sebaiknya hidup berkecukupan dan karenanya bisa
memberikan sedekah, infak dan amal saleh lainnya. Untuk para penggerak
pemberdayaan dalam hal ini bisa pemerintah, pekerja sosial, organisasi masyarakat,
dan siapapun itu, bukankah teologi Al-Ma’un memberikan cambuk kesadaran pada
kita untuk merawat dan menjaga umat yang membutuhkan, sebagaimana Allah
berfirman “Tahukah
kamu (orang yang mendustakan agama, itulah orang-orang yang menindas anak-anak
yatim dan tidak menganjurkan memberi makanan kepada orang-orang miskin”. (Al Ma'un ayat 1-3). Serta berbagai ayat lain yang
menunjukan wajah agama revolusioner dimana mendorong umatnya untuk bergerak maju
dan tidak stagnan, apalagi pasrah terhadap nasibnya. Tawakkal tentu harus, tapi
terburu-buru tawakkal dan meninggalkan ikhtiar adalah kenaifan. Rasulullah saw
pernah berkata, “Ikatlah untamu lebih
dahulu, kemudian bertawakal”.
Saat ketauhidan menginspirasi bahkan menjelma
menjadi rencana aksi, saat itulah gerak laju pemberdayaan menemukan energi inti
yang ada pada keyakinan aktor maupun masyarakat dalam pemberdayaan itu sendiri.
Tauhid sosial akan menjangkar dalam diri dan hati masyarakat untuk terus
bergerak dan menemukan jalan terbaik untuk merubah nasibnya. Pun program
pemberdayaan akan terus digulirkan dengan nafas ilahiyah dimana untuk mengambil keuntungan pribadi atau kelompok
dalam proses pemberdayaan adalah hal memalukan terlebih menakutkan karena ada
Tuhan yang Maha melihat. sekalipun memang ada benefit yang bisa didapatkan dari proses pemberdayaan, maka benefit tersebut akan didistribusikan dan dialokasikan dengan bijaksana.
Tauhid sosial akhirnya bukan hanya menjadi dasar tapi juga dapat memberikan formulasi baru pada bagaimana program pemberdayaan yang baik dan Berketuhanan. Ketauhidan sosial itu akan merangsek masuk pada sistem pemberdayaan dan skema pemberdayaan yang adil, transparan, dan sekali lagi tidak hanya menargetkan penyerapan anggaran.
*Penulis adalah pendamping PKH Kemensos RI Kota Bekasi
0 Komentar